Jakarta (28/11) – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa layanan visa elektronik (e-Visa) bagi orang asing subyek Calling Visa sudah berlaku sejak lama, yaitu tahun 2012, dan diperuntukkan hanya untuk warga negara tertentu. Layanan ini diberlakukan dengan persyaratan ketat karena diperuntukkan bagi warga negara yang dinilai memiliki tingkat kerawanan tertentu.
"Negara Calling Visa adalah negara yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian, " kata Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kemenkumham, Heni Susila Wardoyo, di Jakarta, Sabtu (28/11/2020).
Ketentuan terkait negara calling visa, menurut Heni, pertama kali dituangkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM tahun 2012. Dimana dalam keputusan tersebut terdapat sebelas negara yang masuk dalam daftar negara calling visa, termasuk Israel.
“Dalam Kepmen Tahun 2012, ada sebelas negara yang masuk dalam daftar negara calling visa, termasuk di dalamnya adalah Israel. Jadi ini sudah berlaku sejak tahun 2012. Kemudian pada tahun 2013, salah satu negara, yaitu Irak, dihapus dari daftar negara calling visa, menjadi negara dengan visa biasa,” papar Heni lebih lanjut.
Heni menjelaskan, dihapuskannya Irak dari daftar negara calling visa karena saat itu terjadi peningkatan kerjasama dan hubungan yang lebih menguntungkan antara Indonesia dan Irak. Sementara negara-negara lain dinilai masih rawan. Karena tingkat kerawanan tersebut, negara calling visa menjadi cluster terakhir yang diberikan relaksasi permohonan visa setelah pembatasan orang asing masuk wilayah Indonesia. Alasan utama dibukanya kembali pelayanan calling visa adalah mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur, baru kemudian untuk tujuan investasi, bisnis, dan bekerja.
Pemerintah telah menetapkan ketentuan pemberian visa bagi negara yang termasuk dalam subjek negara calling visa adalah: Afghanistan, Guinea, Israel, Korea Utara, Kamerun, Liberia,Nigeria, dan Somalia.
Ketentuan itu merujuk pada Permenkumham Nomor M.HH-01.GR.01.06 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Negara Calling Visa dan Pemberian Visa Bagi Warga Negara dari Negara Calling Visa (Berita Negara No. 301, 2012) dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-02.GR.01.06 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-03.GR.01.06 Tahun 2012 tentang Negara Calling Visa, yang menetapkan menghapus negara Niger sehingga menjadi 8 (delapan) negara calling visa.
Heni menegaskan, proses pemeriksaan permohonan eVisa bagi warga negara subjek calling visa dilakukan sangat ketat dan melibatkan tim penilai dari Kemenkumham, Kemendagri, Kemenlu,Kemenaker, Polri, Kejaksaan Agung, BIN, Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional.
"Tim akan rapat koordinasi untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk diberikan visa, jadi pemberian visa kepada warga negara dari subjek calling visa sangat teliti dan ketat, serta sangat mungkin untuk dilakukan penolakan" ujar Heni.
Uji coba pembukaan kembali pelayanan eVisa bagi orang asing subyek calling visa, dimulai pada 23 November 2020. Hingga 28 November 2020, permohonan yang masuk melalui website www.visa-online.imigrasi.go.id mayoritas adalah permohonan visa onshore, yaitu permohonan visa yang diajukan oleh penjamin bagi orang asing yang stranded di Indonesia dan tidak dapat kembali ke negaranya karena terimbas pandemi covid-19.
“Sampai sekarang permohonan yang masuk sebanyak 17 permohonan dan 12 di antaranya adalah visa onshore, yaitu visa bagi mereka yang sudah berada di Indonesia dan stranded tidak dapat kembali ke negaranya karena terimbas covid-19. Mereka ini harus difasilitasi visa untuk memperpanjang izin tinggalnya sesuai Permenkumham 26 Tahun 2020” ujarnya.
Heni menjelaskan, lima permohonan berupa visa offshore, yaitu visa yang diajukan oleh penjamin bagi orang asing yang berada di luar negeri, yaitu dari negara Afganishtan untuk penyatuan keluarga dan Nigeria yang mengajukan permohonan sebagai investor. Selain itu, Heni juga menekankan, sampai dengan saat ini tidak ada pengajuan dari warga negara Israel.
Heni Susila Wardoyo
Kepala Biro Humas Hukum dan Kerjasama
Kemeneterian Hukum dan HAM
HP: 0813 8147 9614
Terakhir diperbaharui 17 Januari 2024