Selasa, 31 Agustus 2021 Pukul 16.00 WIB Penulis: Ajeng Rahma Safitri Editor: Muhammad Fijar Sulistyo JAKARTA – Imigrasi melakukan pengkajian dan pembahasan Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian bersama Badan Keahlian DPR RI serta para akademisi Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada Selasa (31/08/2021). Pembahasan tersebut dilakukan dalam format Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan di Aula Universitas Pancasila. Narasumber utama yang hadir pada kesempatan ini antara lain Guru Besar Hukum Keimigrasian Universitas Krisnadwipayana, M. Iman Santoso, Kepala Program Studi (Kaprodi) Politeknik Imigrasi, M. Alvi Syahrin, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Eddy Pratomo dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Lisda Syamsumardian. Acara FGD ini juga dihadiri secara virtual oleh jajaran pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi. Acara dibuka dengan sambutan dari Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, dan Kepala Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul. Dalam sambutannya, Edie menyampaikan harapan bahwa Nota Kesepahaman dengan Badan Keahlian DPR akan terus berlangsung demi memperkuat nilai-nilai Pancasila di masyarakat. “Mudah-mudahan MoU ini dapat dilakukan juga untuk aspek lain, tak berhenti pada pembahasan urgensi RUU Keimigrasian”, ujarnya. Senada dengan Sang Rektor, Inosentius mengatakan, pihaknya memiliki komitmen yang kuat untuk menindaklanjuti urusan Pancasila. “Karena ini urusan yang sangat penting di DPR. Setiap naskah UU harus di-review pasal-pasalnya berdasarkan Pancasila. Kami juga melaksanakan evidence-based policy making. Untuk membuat sesuatu yang bermutu kita perlu diskusi yang bermutu pula dengan orang-orang yang ahli. Saat ini kami sedang coba merancang UU Kekarantinaan, suatu pekerjaan yang baru kita kaji. Bicara tentang karantina, maka kita bicara tentang keamanan nasional. Ini juga suatu hal yang erat hubungannya dengan imigrasi.”, tandasnya. Pada sesi pemaparan narasumber disampaikan poin-poin penting terkait UU No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yang dianggap bercelah atau tumpang tindih dengan peraturan-peraturan di bawahnya. Di samping itu, disebutkan pula bahwa salah satu urgensi pembahasan RUU Keimigrasian adalah menciptakan sinergitas dengan undang-undang lain, seperti UU Cipta Kerja dan UU Kerja Sama Internasional. Sesi paparan pertama diisi oleh M. Imam Santoso, yang menekankan aturan mengenai pengungsi dan deteni. “Dalam Pasal 85 UU No. 6 Tahun 2011 disebutkan bahwa setelah selesai menjalani masa 10 tahun di rumah detensi, deteni harus lapor diri secara periodik termasuk perubahan pekerjaan. Akan tetapi, tidak ada amanat bahwa deteni dapat diizinkan bekerja apabila sudah keluar dari Rudenim. Maka, status keimigrasian apa yang akan diberikan? Izin bekerjanya bagaimana? Selain itu, masalah pengungsi juga belum diatur oleh UU Keimigrasian. Saran saya untuk Ditjen Imigrasi, agar dapat segera disusun draft penyempurnaan UU Keimigrasian, sesuai dengan perubahan paradigma keimigrasian saat ini”, ungkap pria yang pernah menjabat sebagai Dirjen Imigrasi itu. Sependapat dengan usulan tersebut, Eddy Pratomo menambahkan bahwa Imigrasi memiliki peran nasional dan kerja sama internasional. “Imigrasi punya peran internasional (kerja sama dengan negara lain) dan nasional (penjaga kedaulatan). Ada fungsi keimigrasian di Perwakilan RI terhadap lalu lintas orang yang masuk-keluar Indonesia. Sebaiknya, di UU yang baru nanti Imigrasi menjadi suatu National Security System, baik bergabung dalam kementerian maupun berdiri sendiri. Selanjutnya perlu dilakukan koordinasi dengan Kemenkopolhukam dan stakeholders lainnya”, ungkap mantan Dubes Indonesia untuk Jerman tersebut. Selanjutnya, Kaprodi Poltekim, M. Alvi Syahrin menjabarkan secara detail mengenai pentingnya perubahan pada berbagai frasa dan definisi yang tercantum dalam UU No. 6 Tahun 2011. Ia menyorot definisi/terminologi keimigrasian yang sangat membatasi pada kata “pengawasan”. Sedangkan, dalam batang tubuh undang-undang dijelaskan fungsi keimigrasian dari hulu ke hilir (jauh lebih luas daripada pengawasan). Beberapa hal lain yang menjadi perhatian Alvi meliputi penjelasan tentang pejabat imigrasi, pengungsi, penjamin Orang Asing, alasan penolakan masuk Orang Asing, perbedaan pelanggaran dan kejahatan keimigrasian, dan tentunya tentang overstay. “Pada Pasal 78 ayat 3 disebutkan, Orang Asing yang overstay lebih dari 60 hari akan dikenakan sanksi deportasi dan penangkalan. Ini sangat mungkin membuat Orang Asing jadi berpikir lebih baik sekalian saja overstay di atas 60 hari supaya dipulangkan meskipun harus ditangkal, daripada overstay kurang dari 60 hari dan bayar denda 1 juta Rupiah per hari. Terkait hal ini dapat dipertimbangkan, apakah WNA yang overstay lebih dari 60 hari perlu dipidana misalnya?”, pungkas Alvi. Sementara itu, menyambung pernyataan narasumber lainnya, Dosen FH UP, Lisda Syamsumardian menitikberatkan paparannya pada pengaturan pengungsi yang datang ke Indonesia. Ia mengatakan, ada ketidakjelasan pengaturan pengawasan keimigrasian dalam menangani masalah pengawasan pengungsi. “UU Keimigrasian tidak menjabarkan kategori Orang Asing secara jelas sehingga tumpang tindih dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. Perpres No. 125 Tahun 2006 mengatur suatu fungsi keimigrasian yang belum diatur oleh UU Keimigrasian sendiri. Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tidak disebutkan sebagai konsideran dalam Perpres tersebut. Pemaknaan Orang Asing dalam UU Keimigrasian harus menyentuh makna pengungsi dan pencari suaka.”, tutur Lisda. Sebelum menutup penjelasannya, Lisda juga menyampaikan tiga poin yang harus diimplementasikan pada UU Keimigrasian setelah disempurnakan. Ketiga hal tersebut antara lain perluasan pemaknaan pengawasan Orang Asing, memperjelas fungsi pengawasan imigrasi dalam lingkup perjanjian internasional, serta sistem pengawasan keimigrasian satu pintu. Ia menyebutkan, pengungsi tidak bisa dilihat dari perspektif HAM saja, tetapi juga harus dilihat dari perspektif kedaulatan negara.
Terakhir diperbaharui 17 Januari 2024