Kamis, 9 Desember 2021 Pukul 14.30 WIB Penulis: Ajeng Rahma Safitri Editor: Muhammad Fijar Sulistyo Berbagai modus sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang telah menarik ribuan korban Warga Negara Indonesia (WNI) mendorong instansi pemerintah terkait, khususnya Direktorat Jenderal Imigrasi, untuk mencari pemecahan masalah secara sistematis. Pada Rabu (08/12/2021), Ditjen Imigrasi melaksanakan pertemuan dengan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Bareskrim Polri, yang melibatkan partisipasi satuan kerja imigrasi se-Indonesia secara daring. Dalam kesempatan tersebut, Deputi Bidang Penempatan dan Perlindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah BP2MI, Achmad Kartiko memaparkan faktor-faktor terjadinya kejahatan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI). “Beberapa hal yang memberikan celah bagi terjadinya kejahatan kepada Calon PMI antara lain kondisi CPMI yang rentan sehingga mudah ditipu dan dibujuk rayu, keinginan diberangkatkan oleh perseorangan karena alasan praktis, mudahnya pemalsuan dokumen, keberangkatan menggunakan visa kunjungan atau visa ziarah, aturan/sistem negara yang berbeda-beda hingga keterlibatan jaringan internasional”, pungkasnya. Ia melanjutkan, pada kejahatan terhadap PMI, mereka tidak menyadari bahwa akan menjadi korban. Satu-satunya hal yang terpikirkan oleh Calon PMI yakni mereka ingin memperbaiki penghidupannya dengan bekerja di luar negeri. Di sisi lain, penempatan PMI secara ilegal juga difasilitasi oleh aturan dan sistem yang berlaku di negara tujuan. “Di Malaysia ada Program Rekalibrasi. Jadi, PMI yang nonprosedural di sana ketika lapor ke KBRI bisa direkalibrasi (izin tinggalnya) lalu menjadi legal. Saya pikir ini kacau juga, harusnya mereka meninggalkan negara itu dahulu. Bahkan di Arab Saudi visa ziarah bisa menjadi visa kerja, artinya negara itu memfasilitasi, padahal kan tidak benar”, imbuh Kartiko. Sementara itu, tim dari Bareskrim Polri menjelaskan terdapat berbagai modus operandi dalam proses pengiriman PMI nonprosedural. Modus-modus yang paling berisiko menimbulkan masalah serius antara lain Calon PMI tidak menggunakan paspor karena melewati jalur tikus (pintu perbatasan), pemalsuan identitas diri, pemerasan dan penjeratan hutang, PMI Recycle menggunakan surat cuti atasan/majikan hingga kewajiban setor kepada agen/sponsor. Menanggapi informasi yang disampaikan para narasumber, Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Dirwasdakim), Pria Wibawa mengungkapkan pentingnya pembentukan skema yang akan digunakan untuk mencegah TPPO. “Kalau kita bicara PMI yang ilegal, di sini ada kementerian/lembaga maupun tokoh agama yang terkait. Kita harus bicara dulu sebelum terjadinya, sebagai contoh kantor imigrasi Pamekasan atau Mataram yang warganya bekerja di Malaysia atau Timteng. Imigrasi dihadapkan pada posisi yang sulit jika melakukan penolakan (paspor). Ini akan menimbulkan dampak negatif dari masyarakat ke kantor imigrasi. Oleh karena itu, kami menginginkan adanya satuan tugas (satgas) di tiap kantor TKI dalam rangka mencegah TKI nonprosedural. Satgas ini melibatkan tokoh masyarakat, Pemda, Polri dan instansi lain yang terkait.”, tutur Pria. Terdapat stakeholder di bandara yang menjalankan mekanisme prosedur pemeriksaan sebelum keberangkatan. Hingga tahun 2021, tercatat 20.452 penundaan paspor serta 2.705 WNI ditunda keberangkatannya. Pria menekankan bahwa dalam pengawasan PMI atau TKI saat di bandara, dugaan terhadap tampilan atau pembawaan seseorang juga tidak bisa dijadikan acuan dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Maka dari itu, Ia mengusulkan mekanisme untuk mencegah keberangkatan PMI nonprosedural dari tingkat terbawah (perangkat desa) sampai ke Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Di samping mekanisme hulu ke hilir, solusi lainnya yang ditawarkan dalam diskusi tersebut yaitu dengan menyusun hukum positif (peraturan perundang-undangan) sebagai dasar yang mengikat seluruh pihak, termasuk dalam hal penyalahgunaan wewenang oleh pejabat terkait. Dari sisi pekerja juga harus dipastikan bahwa PMI memiliki keterampilan khusus, yang didorong bekerja di negara-negara yang memiliki MoU dengan Indonesia. Negara tujuan juga harus memiliki standar upah yang layak dan aturan perlindungan pekerja yang baik. “Dari Pemda hingga Pusat semua terlibat dalam memberi perlindungan. Kita harapkan ada sinergi antara pemangku kepentingan terkait perlindungan PMI. Sosialisasi harus semakin digencarkan tentang bahayanya ikut calo perseorangan. Lalu dari sisi finansial, ada ide dari kami untuk memberikan pinjaman kepada CPMI untuk proses keberangkatannya dan pelatihannya melalui bank pemerintah dengan sistem Kredit Tanpa Agunan (KTA) atau Kredit Usaha Rakyat.”, tambah Achmad Kartiko.
Terakhir diperbaharui 17 Januari 2024