Berita

Kedepankan 3 Prinsip Pengembangan Grand Design Pengelolaan Perbatasan

Kedepankan 3 Prinsip Pengembangan Grand Design Pengelolaan Perbatasan

Penulis: Junianto Budi Setyawan Editor: M Fijar Sulistyo JAKARTA - Pengembangan grand design tata kelola pengelolaan perbatasan harus mengedepankan tiga prinsip utama yakni collaborative governance, adaptive organization, dan agile organization. Lembaga yang terlibat dalam pengelolaan perbatasan harus fleksibel, integratif, dan adaptif dalam mendukung proses bisnis tematik yang telah ditentukan dalam optimalisasi pelaksanaan di lapangan. "Penataan kerangka organisasi kementerian/lembaga yang terkait dengan perbatasan harus berbasis prinsip tepat fungsi, tepat ukuran, dan tepat proses," demikian dikemukakan Sekretaris Kementerian PAN dan RB Rini Widyantini dalam Seminar Nasional dengan tema ‘Penguatan Pengelolaan Perbatasan dalam Perspektif Kolaborasi Manajemen Perbatasan’ yang diselenggarakan di Aula Gedung Sentra Mulia, Jakarta Selatan, Rabu (19/1). Seminar merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka peringatan Hari Bhakti Imigrasi (HBI) Ke-72, Direktorat Jenderal Imigrasi. Ini merupakan hari terakhir pelakasanaan seminar yang diselenggarakan selama 2 hari, 18-19 Januari 2022. Dua Narasumber lain turut serta memaparkan materi yakni Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Polri Brigjen Dr Umar Effendi dan Direktur C Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Marsekal Pertama TNI Frederick Situmorang. Rini menuturkan, kunci keberhasilan tata kelola perbatasan adalah adanya political will dari pemerintah, dukungan kebijakan, kapasitas organisasi, dan tata hubungan kerja antarinstansi. Ketika akan melakukan kolaborasi, kementerian dan lembaga harus thinking out of the box. Sebab, jika diterapkan dengan proses yang biasanya dijalankan, hal tersebut tidak dapat diimpelementasikan. "Isu tentang integrated border management kita harus melihat dalam dua aspek yakni domestic integration dan international integration. Masalah domestik ini harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum berlanjut pada aspek international integration. Secara praktiknya kerja sama intrainstansi harus diperkuat terlebih dahulu sebelum melangkah menuju kerja sama antarinstansi dan kerja sama internasional," ujar Rini yang juga menjabat Plt Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian PAN RB Nantinya, kata Rini, kolaborasi pengelolaan perbatasan dapat diwujudkan dalam bentuk sistem informasi terpadu berbasis single window yang merupakan manifestasi integrasi data lintas kementerian dan lembaga. "Sebagai prasyarat kejelasan tugas fungsi, komunikasi terbuka dan kooperatif, dan trust building sebagai kesatuan otoritas terpadu," imbuh Rini. Direktur Keamanan Negara Baintelkam Polri Dr Umar Effendi menjelaskan, ada 10 provinsi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga baik darat maupun laut. Tindak pidana yang sering adalah ilegal fishing, penyelundupan narkoba, perhiasan, BBM, miras, satwa, rokok/tembakau, obat/alat medis, kendaraan bermotor/mesin, pakaian bekas, dan perlintasan ilegal (pelanggaran keimigrasian). Petugas kepolisian ditugaskan baik di dalam PLBN atau di luar lingkungan PLBN. "Masalah yang dapat kami identifikasi adalah teknologi dan jaringan yang lemah, terbatasnya SDM, terbatasnya anggaran, minimnya sarpras penunjuang, dan sistem yang parsial atau sering kita sebut ego sektoral," terang Umar. Oleh karenanya, lanjut Umar, perlu dilakukan penyesuaian yakni dengan peningkatan teknologi yang terintegrasi, penambahan SDM yang berkualitas, pengalokasian anggaran khusus penanganan perbatasan terintegrasi dalam kelembagaan, pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana, serta pola kerja yang integratif. Direktur C Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Marsekal Pertama TNI Frederick Situmorang mengatakan, TNI telah menggelar operasi rutin perbatasan satgas pamtas wilayah darat, laut, patroli kemananan laut, patroli udara dan pengamanan pulau terluar. Bais TNI juga menggelar operasi intelijen di perbatasan negara. "Ancaman di wilayah perbatasan yang kami analisis adalah secara tradisional yakni konflik terbuka. Sementara untuk non tradisional yakni illegal trafficking, penyelundupan narkoba, terorisme, dan pencurian sumber daya alam," terang Frederick. Saat ini, jelas dia, ancaman yang nyata adalah ancaman non tradisional. Namun, ancaman tradisional belum nyata dapat sewaktu-waktu dapat terjadi seperti sengketa batas wilayah. Gangguan wilayah perbatasan tidak hanya dirasakan di wilayah batas negara namun dapat dirasakan di luar titik konflik tapi bisa sampai ibu kota negara. "Sinergitas intelijen dapat menjadi salah satu bukti kolaborasi dengan lintas instansi. Ini dapat menjadi kerja bersama dalam menjaga stabilitas keamanan nasional," ujarnya.

Terakhir diperbaharui 17 Januari 2024