Berita

Pengawasan Perbatasan Negara Perlu Respons Kolaboratif Pemangku Kepentingan

Pengawasan Perbatasan Negara Perlu Respons Kolaboratif Pemangku Kepentingan

Penulis: Junianto Budi Setyawan Editor: Muhammad Fijar Sulistyo JAKARTA - Kompleksitas permasalahan di perbatasan negara memerlukan respons kolaboratif para pemangku kepentingan (stakeholder). Perlu adanya badan yang mengkoordinasikan fungsi pemangku kepentingan dalam rangka pengawasan perbatasan. Kolaborasi ini diimplementasiakan dengan tetap mempertahankan fungsi masing-masing lembaga. Demikian salah satu poin yang dikemukakan Guru Besar Ilmu Hukum Keimigrasian Universitas Krisnadwipayana Prof Dr Iman Santoso dalam Seminar Nasional dengan tema ‘Penguatan Pengelolaan Perbatasan dalam Perspektif Kolaborasi Manajemen Perbatasan’ yang diselenggarakan di Aula Gedung Sentra Mulia, Jakarta Selatan, Selasa (18/1). Seminar merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka peringatan Hari Bhakti Imigrasi (HBI) Ke-72, Direktorat Jenderal Imigrasi. “Merujuk kepada negara-negara seperti Australia, Singapura, dan Amerika Serikat, yang mana dalam melakukan pengawasan perbatasan telah menerapkan kolaborasi antara imigrasi, bea cukai, kemananan laut, dan lembaga lainnya. Negara-negara tersebut telah menerapkan kebijakan nasional perbatasan yang berorientasi kuat pada keamanan dan penegakan hukum secara terpadu,” kata Iman Santoso. Iman Santoso menekankan, kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal keimigrasian ke depannya apakah menitiberatkan pada fungsi pelayanan saja atau pengawasan serta penegakan hukum. Atau keduanya harus berimbang. Hal ini perlu dirumuskan secara jelas mengingat kompleksitas permasalahan keimigrasian yang akan dihadapi ke depannya. “Kebijakan perbatasan Indonesia masih menitikberatkan kepada inner border. Sementara negara lain sudah fokus beyond border. Indonesia sebagai negara yang wiayahnya sangat luas apakah masih akan tetap berpijak kepada kebijakan inner border? Ini yang perlu dikaji lebih lanjut,” tegas Iman Santoso. Pemeriksa Bea Cukai Madya Direktorat Jenderal Bea Cukai Tonny Riduan P. Simorangkir yang menjadi pembicara kedua menjelaskan, kolaborasi antara Bea Cukai dengan Imigrasi telah terjalin dengan baik salah satunya dengan diluncurkannya Sistem Passenger Analysis Unit (PAU). Selain itu terkoneksinya SIMKIM dengan Bea Cukai sehingga bisa dijadikan joint analysis, misalnya untuk penanggulangan terorisme. “Kolaborasi yang telah ada ini sudah sangat dirasakan manfaatnya untuk menjaga perbatasan negara. Oleh karenanya penguatan kolaborasi para pemangku kepentingan ini sangat penting mengingat ke depan masalah perbatasan akan semakin kompleks,” terang Tonny. Tonny melanjutkan, isu kekinian yang perlu diantisipasi adalah tentang kejahatan lintas negara (transnational organized crime). Di mana dalam impelementasinya para pelaku sangat cerdik dengan memanfaatkan barang-barang yang memiliki fungsi ganda. Seperti bahan kimia, biologi, dan nuklir. Menyikapi hal itu, Bea Cukai dan Imigrasi kemudian meluncurkan Passenger Risk Management yang bisa dijadikan alat untuk menganalisis potensi kejahatan lintas negara di Indonesia. “Termasuk dalam hal narkotika, psikotropika, dan prekursor (NPP) yang mana penyelundupan barang ilegal ini juga marak di perbatasan negara. Kita harus bahu-membahu untuk menanggulangi hal tersebut. Dan saya meyakini dengan kolaborasi, salah satunya dengan Imigrasi, pengawasan perbatasan menjadi lebih efektif dan efisien,” terang Tonny.

Terakhir diperbaharui 17 Januari 2024