Penulis: Junianto Budi Setyawan Editor: M Fijar Sulistyo JAKARTA - Kajian perihal hukum keimigrasian di Indonesia masih sangat minim. Di perguruan tinggi hukum baik negeri atau swasta masih menempatkan kajian hukum keimigrasian sebagai mata kuliah tambahan, pilihan, atau menjadi pelengkap saat mempelajari hukum kewarganegaraan dan kependudukan. Literatur yang mengupas secara detail tentang hukum keimigrasian juga masih sangat sedikit. Padahal jika diilihat dari perspektif filsafat, baik secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis, hukum keimigrasian sudah masuk sebagai kategori ilmu yang memiliki manfaat dan seharusnya terus dikembangkan. Demikian benang merah Bedah Buku “Hukum Keimigrasian: Suatu Pengantar” di Aula Gedung Sentra Mulia, Jakarta Selatan, Kamis (20/1). Bedah buku ini merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka peringatan Hari Bhakti Imigrasi (HBI) Ke-72, Direktorat Jenderal Imigrasi. Sebagai pembicara dalam bedah buku tersebut Dr. Bayu Dwi Anggono, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Agus Riewanto (Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta) dan Dr. Oce Madril (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta). Sebagai moderator bedah buku yakni Dr. M. Alvi Syahrin, Kaprodi Hukum Keimigrasian Politeknik Keimigrasian. Dr. Bayu mengatakan, dalam praktiknya, hukum keimigrasian sangat terkait dengan aspek hukum lain seperti hukum tata negara, hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum internasional. Hukum administrasi mengatur hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyat. Hukum pidana mengatur perbuatan pidana dan pertangungjawaban pidana atas suatu pelanggaran dan kejahatan di bidang keimigasian. Sementara, hukum internasional terkait dengan pelaksanaan fungsi keimigrasian yang menyerap berbagai konvensi internasional antara lain konvensi PBB. “Hukum keimigrasian juga terkait dengan hukum tata negara karena berhubungan dengan fungsi lembaga, hubungan antarlembaga negara, aspek kependudukan, kewarganegaraan dan pewarganegaraan” imbuh Bayu. Hukum keimigrasian, lanjut Bayu, mendesak untuk terus dikaji dan dikembangkan mengingat arus pergerakan manusia antarnegara sudah tidak terbendung lagi. Kemudahan transportasi menjadi salah satu trigger meningkatnya pergerakan lintas negara. Menurut Bayu, hukum keimigrasian jika didefinisikan merupakan seperangkat aturan hukum yang mengatur tentang hal-ihwal yang terkait dengan keluar dan/atau masuknya orang ke dalam wilayah suatu negara yang mencakup pula kegiatan pengaturan, kebijakan, perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum. “Buku ini selain sebagai penyempurna buku hukum keimigrasian yang sudah ada juga sangat layak untuk menjadi bahan ajar di perguruan tinggi hukum di Indonesia. Dalam konteks internal, buku ini juga dapat menjadi oase bagi petugas imigrasi dalam menjalankan tugas pelayanan dan penegakan hukum keimigrasian di lapangan,” terangnya. Pembicara lain, Dr Agus Riewanto mengetengahkan pembahasan perihal letak hukum keimigrasian dilihat dari perspektif sejarah. Menurut Agus, sejarah hukum penting dipelajari pada setiap fase untuk memahami tentang hukum keimigrasian dari konteks perundangan, kebijakan, tindakan hukum, dan peristiwa keimigrasian baik dari masa lampau, kini, hingga masa depan. “Sejarah ini dapat kita dalami untuk mencari hal unik dan menarik dalam suatu periode pemerintahan sebagai alat untuk menyempurnakan pengaturan keimigrasian di masa depan,” jelas Agus. Agus mencontohkan perihal hukum keimigrasian pada saat zaman kolonial atau penjajahan di mana asas yang dianut adalah asas terbuka. Belanda menerapkan hal tersebut untuk memudahkan orang asing masuk ke Indonesia dan menarik simpati dari negara lain sehingga Belanda mendapatkan dukungan untuk terus menjajah Indonesia. “Namun setelah kemerdekaan kebijakannya berubah. Pemerintah menerapkan asas kebijakan selektif (selective policy) yang mana hanya orang yang bermanfaat dan tidak membahayakan negara saja yang dapat masuk ke Indonesia. Dari hal ini dapat kita tarik kesimpulan, setiap pemerintah memiliki kebijakan tersendiri yang dapat dikaji untuk penyempurnaan kebijakan keimigrasian ke depannya,” ujar Agus. Dr. Oce Madril menyoroti perihal istilah Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK) dalam pembahasan Hukum Administrasi Negara. Menurut Oce, istilah TAK kurang tepat. Seharusnya frasa yang benar adalah Sanksi Administratif Keimigrasian. “Kenapa demikian, karena ketika orang asing dideportasi itu artinya yang bersangkutan mendapatkan sanksi administratif keimigrasian. Ini salah satu masukan saya untuk mengoreksi frasa TAK yang selama ini dianut oleh Direktorat Jenderal Imigrasi,” jelasnya. Oce membedah perihal Hukum Administrasi Keimigrasian yakni pengertian dan ruang lingkup hukum administrasi, kewenangan dan tindakan pemerintahan, hukum administrasi keimigrasian, dan penegakan hukum administrasi keimigrasian.
Terakhir diperbaharui 17 Januari 2024